Makhluk sosial, hidup bersosialisasi dengan manusia lain. Itulah
manusia, hidup tak cukup hanya sekedar makan dan tidur, hidup adalah
bergerak. Satu manusia dengan manusia lain memiliki sikap dan perilaku
sosial yang berbeda.
Diriku, mencoba menggali makna seluas-luasnya dalam hidup, tak ingin
mati meninggalkan raga yang akhirnya membusuk juga dimakan cacing suatu
hari nanti. Seiring berjalannya waktu, kedewasaan menghampiri,
perjalanan dakwah aku ambil. Perjalanan yang menyenangkan karena
orientasi hanya ridho Allah semata, lebih menenangkan jiwa, daripada
musti berjuang dengan orientasi keduniawian, tentu tanpa menafikkan diri
dari kebutuhan dunia yang memang mesti dicukupi.
Hari ini, sebuah amanah terpikul di pundak ini. Amanah yang diberikan
oleh kawan-kawan. Menjadi orang kedua dalam pergerakan. Bukan orang
pertama, namun memiliki andil cukup besar dalam menjalankan roda ini.
Sebagai orang kedua tentu diriku masih memiliki keterbatasan dalam
mengambil sikap, karena masih ada orang pertama yang kebijakannya lebih
besar dan lebih mutlak, yang aku tetap harus patuh padanya, dan tidak
bisa memutuskan perkara tanpa sepengetahuan dan persetujuannya. Dialah
sang kapten, dan diriku hanya seorang nahkoda yang menjalankan perahu
ini sesuai dengan perintahnya.
Masalah muncul hari ini, perjalanan mengarungi lautan luas tidak semulus
yang diinginkan. Terkadang menemui gulungan ombak yang begitu dahsyat,
melewati bongkahan es, melawan badai yang begitu besar. Tak jarang
kapalpun mengalami kebocoran. Mengalami kerusakan teknis yang menghambat
perjalanan.
Perjalanan mencapai tujuan masih sangat panjang, ooh, kapten,, disaat seperti ini kami sangat membutuhkan kehadiranmu, komandomu, suara lantangmu kepada seluruh awak kapal ini. Diriku hanya seorang nahkoda yang juga membutuhkan arahanmu. Namun, mengapa engkau hanya diam membisu dalam suasana seperti ini? seolah kau pikulkan perjalanan ini kepada nahkoda namun engkau tak berkata. Harus bagaimana, aku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar