“Sungguh sangat mengherankan perkara yang ada pada dirimu, betapa
keras tanggapanmu, alangkah banyak kritikanmu..! Apakah engkau merasa heran
apabila dua orang saling merekatkan bahu dan satu dalam kata, hingga salah satu
dari mereka berharap jika sekiranya ia mampu menuangkan hatinya kepada yang
lainnya, sementara yang lainnya berharap jika sekiranya ia mampu meletakkan
ruhnya di tangan yang lainnya sebagai tebusan. Tahukah engkau siapa mereka
itu..? Mereka adalah ayah dan anaknya. Ayah yang menaruh kasih sayang kepada
anaknya dan anak yang berbakti kepada ayahnya.
Apakah hubungan yang sangat erat ini membuatmu takjub..?”
“Tentu saja -demi Allah-, apakah ada ikatan yang lebih mulia dari
hubungan yang mengikat hati dan menyatukan perbedaan, serta menjadi bukti dalam
mengenal karunia dan bersyukur atas segala nikmat..? Apakah mungkin seseorang
bisa hidup di dunia ini tanpa adanya hubungan dengan keluarga, tetangga,
sahabat ataupun teman..? Bukankah hidup bermasyarakat merupakan tabiat dan
nalurinya..?”, kata sahabatnya.
Lalu ia berujar kepada sahabatnya, “Saya melihat engkau sangat memahami
pentingnya nenjalin hubungan antar manusia atas dasar kasih sayang dan tolong
menolong, serta pengikraran dalam kebaikan dan kebajikan”.
“Tentu saja,” tegas sahabatnya.
“Meskipun seseorang harus mengingkari kebaikan dan mendustakan
karunia yang diberikan kepadanya..?!” bantahnya.
“Apakah seseorang akan tega melakukan hal tersebut sementara ia
masih memiliki sedikit rasa malu dan rasa kemanusiaan dalam hatinya..?,” sahabatnya menimpali (tanpa dia sadari bahwa dialah orang yang
dimaksud).
“Benar….dan kamulah orangnya,” tegasnya.
Emosi sang sahabatpun terbakar dan hampir melampiaskannya, namun
ia mencoba untuk menahan dan memendam amarah dalam hatinya lalu bertanya, “Kenapa engkau berkata demikian..?”
“Karena engkau telah mengingkari karunia nikmat Allah Subhanahu Wa
Ta’ala yang dianugerahkan kepadamu,” jawabnya.
“Apa maksud perkataanmu..?” tanya sang sahabat.
‘Bukankah Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah zat yang memiliki
segala anugerah dan karunia..?” ia balik bertanya.
“Benar….,” jawab sahabatnya.
“Apakah Allah Subhanahu Wa Ta’ala berhak untuk disyukuri atas
semua itu..?” tanyanya lagi.
“Tentu saja….,” serentak sahabatnya menjawab.
“Tahukah engkau bagaimana cara bersyukur kepadanya..?” ia kembali bertanya.
Sahabatnya pun terdiam sejenak
seraya memutar pikiran, namun hal tersebut tidak segera membantu dan memberinya
jawaban.
Sesaat kemudian sahabatnya menjawab, “Aku tidak tahu (dengan wajah yang
tersipu-sipu malu)”.
Kembali sahabatnya pun terdiam dan berkata, “Ajarkanlah kepadaku cara yang dengannya aku
bisa merealisasikan rasa syukurku kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala ..!”
la lalu menjelaskan, “Ada
dua cara dimana rasa syukur tidak mungkin dapat terealisasi melainkan dengan
terpenuhinya dua cara tersebut”:
Pertama:
Engkau mengenal Allah Subhanahu
Wa Ta’ala dengan
segala bentuk kebaikan dan karuniaNya dari lubuk hatimu yang paling dalam,
tidak cukup hanya dengan lisan saja. Dan hal tersebut dapat engkau buktikan
dengan meletakkan wajahmu di atas hamparan bumi, sujud dan tunduk kepadaNya.
Kedua:
Senantiasa menjaga nikmat
tersebut dan menggunakannya dalam hal-hal yang diridhaiNya.
Sahabatnya berkata, “Perkataanmu
benar, mulai saat ini aku berjanji kepada Allah untuk tidak meninggalkan shalat
selama aku masih hidup. Akan tetapi, aku memiliki seorang teman dekat yang
sangat berarti bagiku, aku merasa bertanggung-jawab akan urusannya dalam
shalat. Maukah engkau menuliskan beberapa patah kata mengenai permasalahan ini
sehingga aku dapat menyampaikan hal tersebut kepadanya. Semoga dengan goresan
tanganmu, Allah Subhanahu Wa Ta ‘ala memberikan hidayah kepadanya, sehingga
dengan shalatnya ia bisa menyambung kembali hubungan yang sempat terputus
antara dia dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hal tersebut akan menjadi
menjadi pahala yang lebih baik bagimu dari seekor unta merah[2].
“Dengan senang hati,” sahutnya.
la pun menuliskannya . . .
Teruntuk
Sahabat karibku . . .
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh
Sungguh aku telah mendengarkan untaian kata-kata yang sangat indah
dan inginku membaginya denganmu melalui kata-kata yang terhampar di atas kertas
putih ini. Aku berharap semoga untaian kata-kata ini mendapat tempat di relung
hatimu sebagaimana ia telah meresap dalam jiwaku.
Wassalam.
Banyak orang di zaman modern ini mulai menganggap remeh perkara
shalat. Mereka memandangnya tidak lain hanyalah sebagai beban yang sangat
berat, dan apabila engkau mengingatkan mereka, serentak sebagian dari mereka
mencari-cari alasan bahwasanya sekarang ia sedang disibukkan oleh perkara yang
sangat penting, ada pula yang mengatakan bahwasanya pakaian yang ia pakai tidak
suci dan tidak sah apabila di pakai untuk shalat, nanti apabila ia telah
kembali, segera ia akan menggantinya dan melaksanakan shalat. Namun, pada
hakikatnya ia hanyalah seorang pendusta dan sebagian lagi sadar akan
kelalaiannya dan terus menerus mengulangi kata, “semoga Allah memberi hidayah kepada kami”.
Namun ada sebagian orang yang tidak memiliki rasa malu dalam menampakkan
perbuatan-perbuatan maksiat dan mengganti nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan kekufuran, bahkan mereka pun
meremehkan shalat dan meremehkan pula orang-orang yang melaksanakan shalat,
dalam keadaan mereka mengaku sebagai bagian dari kaum muslimin. Mereka ini
tidak lain hanyalah orang-orang yang apabila disebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala bergetar hati-hati mereka dikarenakan
kebencian yang ada dalamnya dan apabila diseru kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala mereka mengatakan,Kami
dengar dan kami ingkari…?!”
“Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan
(Allah)? Seakan- akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut, lari daripada
singa.’’ (Al-Mudatsir: 49-51)
Wahai saudaraku…. Marilah
bersama-sama kita memperbaiki keadaan orang-orang ini serta mencari sebab-sebab
yang membuat mereka melalaikan shalat.
Apakah shalat hanya sebatas denda
yang harus ditunaikan seseorang sebagaimana ia menunaikan denda-denda yang lain
karena suatu kesalahan…?
Apakah shalat hanyalah sesuatu
yang membuang-buang waktu, bukankah setiap orang memiliki kelebihan waktu dari
aktifitasnya hingga akhirnya ia pun menyia-nyiakan kelebihan waktu tersebut?
Apakah shalat merupakan suatu paham
filosofi yang memaksa seseorang untuk menganutnya, sebagaimana ia dipaksa harus
menerima paham- paham politik di negara-negara diktator…?
Apakah shalat membatasi kebebasan
mutlak seseorang dan melarang ia dari menjalankan kebebasan tersebut…?
Apakah shalat hanyalah sebatas
perkara yang mubah-mubah saja, barang siapa yang ingin mengerjakan, maka ia
boleh mengerjakan, namun tidak ada ganjaran apa-apa baginya. Dan barang siapa
yang ingin meninggalkan, ia boleh meninggalkan dan tidak ada dosa baginya…?
Apakah Allah Subhanahu
Wa Ta’ala butuh
kepada shalat kita…?
Faidah apa yang bisa didapat
seseorang dari shalatnya…?
Kerugian apa yang akan menimpa
orang-orang yang meninggalkan shalat…? dan apakah…? serta bagaimana…?
Pertanyaan yang sangat banyak
mengalir dari benak setiap orang yang diakibatkan oleh hawa nafsu, jiwa
kesetanan dan syahwat. Apabila pertanyaan ini tidak mampu dijawab, maka hal
tersebut akan menjadi bumerang yang membuat mereka menjadi rendah dan hina
serta dapat mendorong diri untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan keji yang ada
dalam benak pikiran hingga mereka pun menyimpang.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut
akan senantiasa menghiasi amalan-amalan buruk yang dikerjakan, sehingga mereka
memandang keburukan itu sebagai suatu kebaikan, membenarkan pemikiran-pemikiran
yang sesat dan mereka berpegang teguh dengan pemikiran tersebut lalu
menjerumuskan diri ke dalam perdebatan-perdebatan yang sengit, sampai mereka
berangan-angan jauh hingga mengantarkan mereka ke dalam api neraka yang
jaraknya hanya bisa di tempuh dengan tujuh puluh tahun perjalanan sementara ia
tidak menyadari hal tersebut.
Akan tetapi apabila ia dapat
menjawab pertanyaan tersebut dengan baik dan mampu mematahkan segala macam
bentuk syubhat (kerancuan), dan mampu mempergunakan akal serta logika, maka ia
telah berhasil mengalahkan syubhat tersebut, sehingga pertanyaan-pertanyaan
tersebut menjadi padam dan sirna.
Maka mari kita mulai menjelaskan
kerancuan pertanyaan-pertanyaan tersebut satu per satu, lalu kemudian menjawab
dengan jawaban yang tidak meninggalkan keraguan bagi orang-orang yang ragu. Dan
barangsiapa yang yang berpaling setelah datang jawaban dari keraguan tersebut,
maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.
PERTAMA: SHALAT TIDAKLAH SERUPA DENDA YANG HARUS DIBAYARKAN
ATAU PAJAK YANG HARUS DITUNAIKAN
Wahai saudaraku……. shalat
tidaklah serupa denda yang harus dibayarkan atau pajak yang harus ditunaikan,
akan tetapi shalat hanyalah amanah yang senantiasa dijaga oleh orang yang
mengembannya lima waktu dalam sehari, sehingga hal tersebut akan menjadi bukti
bagimu dalam menunaikan kejujuran, keikhlasan, dan menjaga hak-haknya. Dengan
shalat engkau akan mendapatkan balasan yang baik apabila engkau menjaga dengan
sebaik-baiknya.
Demikian adanya, shalat bukanlah pajak, denda, atau upeti. Akan
tetapi, shalat hanyalah sebagai bentuk realisasi dari mengenal kebenaran dan
mensyukuri segala kebaikan. Sebagai dalil yang menunjukan kesucian jiwa dengan
mentaati para pemimpin dan melaksanakan perintah- perintah mereka, serta
sebagai penjelasan akan kecenderungan hati berupa kecintaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan pengagungan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Tidakkah engkau perhatikan,
orang-orang yang dalam hati mereka mengagungkan hal-hal yang dianggap memiliki
kekuatan lebih dan bisa memberikan kebaikan baginya. Mereka meminta
perlindungan disaat tertimpa musibah, memohon pertolongan disaat-saat genting,
mencari barokah dalam kondisi-kondisi tertentu, bahkan menjadikan hal-hal yang
dianggap memiliki kekuatan tersebut sebagai syi’ar (simbol) yang mengingatkan
mereka tatkala lalai darinya.
Apa yang membuat orang-orang
nasrani menuhankan Nabi Isa..? menjadikan salib sebagai syi’ar yang diletakkan
di atas gereja-gereja dan di atas dada-dada mereka, serta berlomba-lomba menuju
gereja untuk melaksanakan ibadah..?
Apa yang membuat orang-orang yahudi menuhankan Uzair -maha
suci Allah dari apa- apa yang mereka persekutukan-, berkumpul di
sekeliling kuburan yang dihiasi dengan cahaya lilin seraya beribadah dan
membaca taurat..? Apa pula yang membuat orang-orang fundamentalis di antara
mereka mengambil topi kecil dan meletakkannya diatas ubun-ubun..? Dan mengapa
tatkala berdirinya kedaulatan mereka di Palestina, mereka bersepakat untuk
menjadikan lambang bintang enam sebagai syi’ar mereka..?
Apa yang membuat orang-orang majusi menyembah api..? Apa
yang membuat sekte-sekte di India menyembah sapi dan kera..? dan apa yang
membuat kelompok-kelompok bathiniah[3]
menyembah setan..?
Orang-orang ini, semuanya menyembah dan mengagungkan
sesembahan-sesembahan selain Allah Subhanahu
Wa Ta’ala. Mereka beribadah serta mendekatkan diri kepadanya,
padahal semua sesembahan-sesembahan tersebut adalah bathil sebagaimana
pemikiran-pemikiran mereka yang tidak waras. Sesembahan-sesembahan itu tidaklah
mampu memberikan kebaikan bagi mereka dan tidak pula menolak keburukan yang
menimpa mereka. Namun dengan demikian engkau tidak mengingkari ibadah yang
mereka lakukan dan selalu mengoreksi shalat yang aku kerjakan yang sangat jelas
kebenaran, keagungan dan manfaatnya..?
Manfaat apa yang bisa diperoleh
oleh orang- orang ini dari peribadatan-peribadatan mereka yang berbeda-beda..?
Kebaikan apa yang bisa diberikan
oleh sesembahan-sesembahan itu kepada mereka..?
Apakah sesembahan-sesembahan itu
mampu mengabulkan do’a mereka..?
Apakah sesembahan-sesembahan itu
memahami kata-kata yang mereka ucapkan..?
Apakah sesembahan-sesembahan itu
mengetahui apa-apa yang baik bagi mereka dan apa-apa yang buruk bagi mereka ..?
Apakah sesembahan-sesembahan itu
yang memberikan mereka rezeki..?
Apakah sesembahan-sesembahan itu
yang menghidupkan mereka..?
Apakah sesembahan-sesembahan itu
yang menyembuhkan mereka..?
Apakah sesembahan-sesembahan itu
mampu menghindarkan mereka dari mara bahaya..?
Apakah sesembahan-sesembahan itu
mampu menurunkan hujan yang dengannya ia menumbuhkan sawah dan ladang..?
Tidak sama sekali…!!! Sesembahan-
sesembahan itu tidaklah mampu untuk melakukan hal-hal tersebut. Namun demikian,
mereka masih saja terus menyembah dan meyakini kesucian dan dan keutamaan
sesembahan-sesembahan dalam lubuk hati mereka, serta merealisasikan hal
tersebut dengan ibadah-ibadah yang mereka serahkan sesembahan-sesembahan
tersebut.
Wahai saudaraku, apa pendapatmu
apabila seseorang yang memberimu sebuah permen, membantu mengangkatkan
barang-barangmu, menunjukimu jalan, membantu mendorongkan mobilmu yang sedang
mogok, atau membantu mengambilkan barangmu yang terjatuh…? Bukankah engkau akan
mengatakan kepadanya, “Terima kasih” dan engkau akan memuliakannya dalam hatimu
serta menghargai apa yang telah ia lakukan…? Lebih dari itu engkau berharap
kalau bisa membalas perbuatan baiknya itu dengan sesuatu yang lebih baik
darinya..?
Tentu saja… Aku adalah manusia biasa sepertimu, senantiasa
menjaga kebajikan, berikrar dengan kebaikan, menghargai pemberian, bersyukur
atas hadiah yang diberikan. Dan setiap kali pemberian itu lebih besar, maka
rasa syukur dariku atas hal tersebut akan lebih besar pula. Namun apakah ada
zat yang mampu memberikan karunia dan nikmat kepadaku sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menganugerahkan kepadaku akal dan
panca indera…? Yang telah melapangkan rezeki yang baik bagiku, mengkaruniakan
kepadaku rasa sehat dan afiat, menunjukkan kepadaku agama yang benar,
menganugerahkan kepadaku keluarga dan anak-anak, serta menempatkanku di negeri
yang sentosa yang dikelilingi sahabat-sahabat yang baik dan tetangga yang
ramah..?
Tidak sama sekali…!!! Tidak ada satu zat pun di alam ini yang
mampu memberikan kebaikan kepadaku sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberikan kebaikanNya kepadaku.
Maka tidak patutkah aku bersyukur atas segala limpahan nikmat ini, sebagaimana
aku berterima kasih kepada orang-orang yang telah memberikan kepadaku hal-hal
yang jauh lebih kecil dari nikmat-nikmat tersebut..? Aku yakin engkau pasti
sepakat denganku dalam hal ini, bahkan engkau akan selalu memberikan motivasi
kepadaku untuk melakukannya. Lebih dari itu, engkau akan memaksaku untuk
melakukannya apabila aku menyepelekan hal tersebut. Karena engkau tidak
menginginkanku menjadi orang yang tidak mensyukuri pemberian atau mengingkari
kebaikan.
Pada hakikatnya rasa syukur akan
diberikan setimpal dengan nilai pemberian atau orang yang memberikan pemberian
tersebut. Maka rasa syukur yang aku persembahkan kepada orang yang memberiku
sebuah permen akan berbeda dengan orang yang memberiku satu kaleng permen.
Begitu pula perkataanku kepada anak kecil yang mengambil pena
yang terjatuh dari tanganku akan berbeda dengan perkataanku kepada orang
dewasa yang mengambilnya. Wujud kesyukuran yang dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala nikmat-nikmatNya yang
telah diberikan kepadaku adalah tatkala aku meletakkan wajahku di atas hamparan
bumi sebagai bentuk pengikraran terhadap sifat rububiyahNya[4],
pensucian terhadap sifat uluhiyahNya[5], serta sebagai bentuk
pengenalan (pengakuan, ed) terhadap segala nikmat-nikmatNya.
Sebagian manusia menundukkan diri-diri mereka dihadapan thaghut[6]
berupa patung-patung yang pada hakikatnya benda-benda tersebut tidaklahmampu
memberikan manfaat kepada mereka. Bahkan sebaliknya, patung-patung itulah yang
telah menyesatkan mereka dari petunjuk dan kebenaran. Sebagian yang lainnya
tunduk di hadapan atasan-atasannya sebagai bentuk pengagungan dan
penghormatan kepadanya, padahal perbuatan tersebut dapat mengantarkan mereka
menjadi seburuk-buruk makhluk ciptaan Allah Subhanahu
Wa Ta’ala. Maka mengapa aku tidak tunduk kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Raja di atas
para raja, pencipta seluruh apa yang ada di alam semesta ini, Rabb pemilik
langit dan bumi, zat yang bisa memberikan kebaikan dan menjauhkan dari segala
musibah, zat yang kuasa untuk memberi atau menahan rezeki, zat yang mampu
menghidupkan dan mematikan, serta zat yang kuasa menghisab hal-hal yang sangat
kecil meskipun hanya setebal kulit ari..?
________________________
2 Hal ini disandarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’ad” bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “demi Allah kalau seandainya Allah memberikan
hidayah kepada seseorang melalui tanganmu, hal itu lebih baik bagimu dari
seekor unta merah’’. Dan
unta merah adalah harta yang paling berharga dikalangan orang-orang arab waktu
itu.
3 Kelompok bathiniah adalah suatu
kelompok yang lebih mendahulukan kata hati dari aturan-aturan syariat.
4 Pengingkaran terhadap sifat
rububiyah Allah maksudnya; menyakini bahwa Allah adalah pencipta, raja dan yang
mengatur seluruh alam semesta.
5 Pengingkaran terhadap sifat
uluhiyah maksudnya; menyerahkan segala macam bentuk ibadah hanya kepada Allah
dan tidak kepada selainNya.
6 Yang dimaksud dengan thoghut
adalah: iblis, orang yang disembah dan ia ridho dengan penyembahan tersebut,
orang yang menyeru manusia untuk menyembah dirinya, orang yang mengaku
mengetahui hal-hal yang ghaib, orang yang berhukum dengan selain hukum Allah,
dan yang semisal dengannya.
[Dari: Limadza
Usholli; Penulis: Asy-Syaikh Abdur Rauf al-Hanawi; Pengantar: Asy-Syaikh Abdul Aziz Bin
Abdullah Bin Baz Rahimahullah;
Edisi Indonesia: Kenapa Saya Harus Shalat...?!;
Penerjemah: Mohamad Nursamsul Kamar; Penerbit: Al-Hikmah Media]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar