Akhirnya Ku Temukan Jodohku

Respons: 1 komentar
Waktu memang berputar serasa begitu cepat, telah dua puluh empat tahun aku ada di dunia ini. Sore ini matahari bersinar begitu cerah, telah condong ke arah barat. Aku duduk menyendiri di depan teras memandangi rerumputan yang terus bergoyang. Kebulan asap rokok sedikit memperkeruh udara segar sore ini. Aku masih enggan membuang puntung rokok ini karena masih terdapat kenikmatan dalam beberapa kali hisapan lagi. Harum rambut masih tercium karena belum begitu kering dari keramasnya. Dipadu dengan harum kopi yang begitu menggoda memaksaku menyalakan sebatang rokok lagi, ah, aku memang perokok berat.

Asyik menikmati lamunan sore hari, tiba tiba lewat laki-laki setengah tua dengan badan sedang namun tegap, senyum wajahnya menandakan kewibawaan dengan sedikit guratan hitam di keningnya pertanda rajin bersujud. Pak Hasyim namanya, aku biasa memanggilnya pak Haji. Orang yang sangat disegani karena keilmuannya. Beliau biasa mengisi ceramah di masjid-masjid dan menjadi Imam Shalat jamaah. Aku kenal dekat dengan beliau karena beliaulah guru ngajiku di waktu kecil. Kepada beliaulah aku sering menceritakan kegundahan dan mencari solusi apabila di timpa masalah. Kebijaksanaan beliau akan pemecahan masalah membuat hati terasa plong jika curhat dengannya. "Assalamu'alaikum mas Pipit!" sapa beliau mengagetkanku. Aku memang biasa di panggil Pipit, nama yang kata orang seperti wanita. "eh, Wa'alaikumsalam pak haji, monggo pinarak" jawabku sambil mempersilahkan pak Hasyim duduk di kursi sebelahku. "mau minum apa pak Haji?" tanyaku basa basi. "tidak usah repot-repot nak, bapak tahu dirumahmu tidak ada orang, dan bapak tahu kopi buatanmu kurang begitu nikmat, hehehe" candanya. Ah, pak haji membuatku malu. "tumben pak haji mampir ke gubuk saya, ada keperluan apa pak?", "bapak cuma lagi jalan-jalan saja menikmati sore, kebetulan umi sama zul lagi ada pengajian, eh liat nak Pipit duduk melamun sendirian, jadi bapak hampiri deh takutnya kesurupan, hehe.."
"ah, pak haji bisa aja"


Umi adalah panggilan istri pak haji, dan Zul adalah nama panggilan Zulaikha, putri tunggal pak Haji yang baru saja menyelesaikan study-nya di Kota. 

"Gimana kabar Umi dan dek Zul pak? katanya dek zul baru wisuda ya? wah selamat ya?" 
"Alhamdulillah, mereka sehat, makanya main kesana dong, mumpung Zul sudah dirumah"
"aduh, gimana ya pak Haji, malu sama dek Zul, bukan muhrim, hehe, lagian saya kebetulan lagi agak sibuk dengan pekerjaan" jawabku sok sibuk.

"waah, tambah sukses dong!" cletuk pak Hasyim. "enggak pak, cuma menyibukkan diri, kalau tidak begitu ya kerjaannya cuma melamun begini" 
"ya baguslah, anak muda memang harus begitu, punya visi yang jelas, tidak cuma lontang-lantung pekerjannya"
"iya pak haji, bismillah, mohon doa dan masukan-masukannya selalu dari pak haji, anak muda suka labil pak, kalau tidak sering diingatkan sama pak haji nanti salah jalan lagi"
"pasti lah nak, bapak selalu siap jika nak Pipit membutuhkan" 
"trima kasih pak haji"
"sama-sama nak, eh ngomong-ngomong usiamu sekarang berapa?"
"dua puluh empat pak"
"usia matang tuh, kapan mau nikah" pak haji bertanya dengan raut muka yang agak serius.
"emm, sebentar lagi pak, nunggu satu tahun lagi rencananya, lagian penghasilan sepertinya belum cukup untuk berkeluarga" jawabku spontan karena memang tidak tahu mesti menjawab apa. Raut wajah serius pak haji membuatku salah tingkah.
"loh nak, kalau sudah mampu janganlah kau tunda-tunda menyempurnakan separuh agamamu, soal rezeki Allah sudah mengatur semuanya, jadi kenapa mesti takut tidak bisa memberi makan keluargamu? tidakkah kau percaya terhadap maha Rahman dan Rahim Allah?"

"bukan begitu pak, tapi. . . ."
"ah tidak pake tapi-tapian, yang penting kamu siap tidak untuk menikah?!" pak haji memotong kalimatku dengan nada yang semakin tegas.
"insyaAllah siap pak, tapi dengan siapa?" jawabku dengan menunduk tidak berani menatap mata pak Hasyim yang agak melotot menunjukkan keseriusannya.
"nak, bapak sudah mengenalmu dari kecil. Kedekatanmu dengan bapak membuat bapak sudah menganggapmu anak bapak sendiri" pak Hasyim merendahkan nada bicaranya namun masih tidak beranjak dengan muka yang serius. Aku tidak tahu kemana arah pembicaraan pak Hasyim selanjutnya. Setelah beberapa detik hening pak Hasyim kembali memulai "begini nak, bapak telah begitu mempercayaimu, bapak yakin kau mampu menjadi pemimpin yang baik, bisa menjadi kepala rumah tangga yang baik"
"emm, mohon maaf pak haji, saya tidak faham apa maksud pak haji"
"Zulaikha putri bapak satu-satunya, dia sudah cukup dewasa, bapak ingin dia segera menemukan imamnya, dan, , , bapak ingin menikahkannya denganmu"

Jeggeeerrrrrr...!! Bagai tersambar petir di siang bolong kata-kata pak haji yang begitu cepat dan tanpa basa basi menyayat hati ini. Ada perasaan terkejut, senang, dan bingung bercampur jadi satu. Lelaki mana yang bisa menolak pinangan untuk menikahi gadis seperti Zulaikha? Gadis yang begitu salikhah, pintar, menyejukkan siapapun yang melihatnya, namun aku juga merasa tiada pantas bersanding dengan Zul, aku hanya pria biasa yang miskin ilmu agama, mana mungkin menikahi putri seorang tokoh seperti pak Hasyim.

“nak, bapak tahu apa yang ada di fikiranmu sekarang. Bapak tidak memandangmu dari segi harta dan tahta. Bapak mempercayaimu karena bapak yakin kau mampu menjadi imam untuk putri bapak. Engkau taat beribadah, taat menjalankan perintah Allah, bagi bapak itu cukup. Kau maukan?” pak Hasyim kembali bertanya membuyarkan keterkejutanku.

Dengan mulut yang gemetar ku coba untuk menjawab pertanyaan pak haji ‘e...ee.... pak haji, lelaki mana yang sudi menolak untuk dinikahkan dengan dek zul? Tapi, saya merasa tidak pantas disandingkan dengan dek Zul, dan, apakah dek Zul mau berimamkan orang sepertiku?”

“manusia itu tidak ada yang sempurna, kelebihan yang ada pada dirimu membuat bapak memaklumkan kekuranganmu dan membuat bapak merasa pantas. Kau tidak dapat menilai dirimu sendiri nak, orang lainlah yang menilai. Bapak sudah bicara dengan Zul, dan dia bersedia bapak nikahkan denganmu.

Dengan masih dipenuhi perasaan yang campur aduk, aku menjawab singkat “insya Allah pak haji, bismillahirrahmanirrahim saya siap”

Kalimat itu mengakhiri pembicaraan kami sore itu, adzan maghrib berkumandang, bergegas kami ambil air wudhu dan bersama-sama berangkat ke masjid.

Aku merasa hidup dalam sebuah sinetron FTV, kejadian ini berlangsung begitu cepat, belum hilang keterkejutanku sore tadi, malam ini ba’da Isya dilangsungkan pertemuan kedua keluarga kami untuk menentukan akad nikah. Dan diputuskan akad nikah akan dilangsungkan hari Kamis ba’da ashar di masjid. Sungguh hal yang membuatku sangat terkejut, terkejut bercampur senang.

Waktu sakral yang dinanti-nanti tiba, waktunya mengucapkan ijab qobul. Di masjid telah berkumpul keluarga kami berdua, bapak Pengulu dari kantor KUA, tetangga-tetangga yang juga telah hadir ingin menjadi saksi hari pernikahanku. Tidak nampak Zulaikha disana, karena Zulaikha memang masih berada di rumah, dan sesuai dengan permintaan pak Hisyam, setelah mengucapkan ijab qobul, aku harus pulang dulu ke rumah dan baru boleh menemui Zulaikha esok pagi, hari Jumat. Bukan karena kepercayaan apa-apa, namun karena keinginan Zulaikha begitu. Akupun setuju.

“Saudara Fitran Zain Nur Abduh bin Nurul Hadi, saya nikahkan saudara dengan Zulaikha binti Hasyim Ahmad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai” pak Hasyim sendiri yang membacakan ikrar ijab qobul disaksikan oleh pak penghulu.
“saya terima nikahnya Zulaikha binti Hasyim Ahmad dengan mas kawin tersebut dibayar tunai”

“bagaimana para saksi? Saah?”
“Saah...!!!” jawab para saksi, kemudian pak Hasyim membacakan do’a dan diamini oleh seluruh yang hadir.

Acara Ijab Qobul yang sakral telah usai, malam ini aku benar-benar tidak bisa tidur. Membayangkan wajah Zulaikha yang telah sah menjadi istriku namun belum bisa melihatnya. Kami sering bertemu dulu sewaktu SD. Setelah itu kami jarang bertemu karena pada saat SMP dia pindah ke pondok pesantren sampai dengan selesai S1. Setiap dia pulang ke rumah kami tidak pernah bertemu karena Zulaikha jarang menemui tamu pria di rumahnya. Hanya sekali waktu dia SMA, karena Umi sedang pergi ke pasar Zulaikha lah yang mengantarkan minum ketika aku bertamu ke rumah pak haji. Itu sudah lama sekali. Kurang lebih 8 tahun yang lalu. Dia terlihat cantik dan polos saat itu. Auranya masih begitu menyejukkan.

Tak terasa aku tak bisa tidur pulas hingga shubuh membayangkan istriku disana. Ku ambil air wudhu dan pergi ke masjid. Ingin sekali waktu cepat berputar sehingga aku bisa cepat menemui istriku. Di masjid bertemu dengan pak haji dan dia Cuma berkata singkat “nak, Zul sudah menunggu di rumah, bergegaslah temui istrimu”
“Baik pak” jawabku singkat dan bergegas pulang ke rumah, membersihkan diri dan menyalakan sepeda motor pergi menuju rumah baruku.

Tok, tok, tok, “Assalamu’alaikum..” ku ketuk pintu rumah Zulaikha. Terdengar jawaban, itu suara Umi. “masuk anakku”
Begitu masuk rumah ada Umi dan Zul disitu. Tidak terlihat pak Hisyam. Umi membuka pembicaraan “Nak pipit, ini Zul istrimu, Umi titipkan Zul kepadamu. Dia halal untuk mu sekarang, umi tinggal yah? Mau masak buat sarapan kalian”

“iya umi” jawabku singkat, umi beranjak pergi ke dapur. Aku terpana melihat keanggunan Zul, aku masih tidak percaya dia istriku sekarang. “Assalamu’alaikum mas! Hayo, ngelamunin apa ya?” sapa Zul sambil menyodorkan tangannya bersalaman. “eh, wa’alaikumsalam dek” jawabku kaget. Zulaikha kemudian menyalamiku dan mencium tanganku. Tampak bakti seorang istri shalihah yang terdidik ilmu agama dari kecil. Sejuk sekali saat itu, ketentraman hati yang baru pernah aku rasakan. Singkat cerita aku dan Zul bercengkerama mengakrabkan diri hingga waktu yang ditunggu setiap pengantin baru segera datang,,

Dan. . . . .



GUBRAK...!!!! kriiiing, kriiingg, kriiiing... aku terbangun karena alarm HP berbunyi nyaring, jam telah menunjukkan pukul 05.08 pertanda aku telat shalat Shubuh, ah, ternyata ini semua mimpi. Cemberut mukaku menyadari hal itu, namun mimpi itu masih begitu ku ingat hingga ku tuliskan cerita ini. Apakah dua tahun yang akan datang ketika usiaku menginjak 24 tahun hal itu akan menjadi nyata? Wallahu a’lam. Aku kini masih Fitran yang berusia 22 tahun.



1 komentar:

Copyright © Fitran Zain

Sponsored By: GratisDesigned By: Habib Blog